Mengenal Disabilitas melalui Sejarah
Ditulis oleh Benni Indo pada Jum, 09/13/2013 - 12:25
Malang,
Solider-. Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Universitas
Brawijaya Malang menggelar seminar internasional yang berjudul “Membaca
Disabilitas dalam Sejarah Masyarakat Indonesia” pada Senin (9/92013).
Seminar tersebut mendatangkan ahli sejarah dan budaya Prof. Peter Carey
dari Oxford University.
Peter mencontohkan beberapa difabel pada tokoh pewayangan seperti Raden Dastarata yang difabel netra dan Arjuna yang berjari enam. Dalam kajian, hal tersebut menjelaskan bahwa sebelum era kolonial masyarakat sudah menyadarai keberadaan difabel di lingkungannya. Namun, dahulu para difabel tersebut sering dikaitkan dengan seseorang yang memiliki kesaktian. Sampai sekarang, tidak sedikit orang yang mempercayai bahwa difabel merupakan seorang sakti.
Pada era kolonial, difabel dianggap sebagai seorang yang tidak produktif sehingga pemerintah mengupayakan untuk ‘menormalkan’ penyandang disabilitas melalui rehabilitasi. Difabel mulai diberi keterampilan yaitu memijat dan menjahit. Sampai sekarang, kedua keterampilan tersebut masih terus digalakkan sebagai suatu keterampilan yang nantinya dapat membantu penghidupan difabel. Di era pascakolonial, banyak korban perang mengakibatkan peningkatan jumlah difabel di Indonesia. Yayasan yang menaungi difabel dikelola oleh orang Indonesia sendiri setelah Belanda pergi dari Indonesia. Namun, seiring berkembangnya waktu fasilitas umum di beberapa daerah di Indonesia masih belum akses bagi difabel.
Slamet Tohari menambahkan dalam artikelnya yang berjudul “The Shift of Disability Conception in Javanese Society: A Case of Yogyakarta” bahwa Difabel di Yogjakarta tidak memiliki kemudahan akses dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Hampir dalam semua aspek para difabel kesulitan untuk mengaksesnya seperti pada pelayanan umum, transportasi, lembaga pendidikan, dan pasar. “ Hal tersebut menyulitkan difabel untuk mendapatkan pekerjaan,” terangnya. Penting untuk mengetahui dinamika sejarah difabel dari satu zaman ke zaman yang lain agar masyarakat memahami keberadaan mereka di tengah kehidupan sosial. Jika dahulu difabel adalah korban perang, untuk zaman seperti saat ini banyak orang menjadi difabel diakibatkan kecelakaan. Tentu keadaan seperti itu bukanlah keinginan setiap orang, diskriminasi yang sering diterima oleh difabel juga bukan harapan mereka.
post ulang :Rixhi Saputra
Peter mencontohkan beberapa difabel pada tokoh pewayangan seperti Raden Dastarata yang difabel netra dan Arjuna yang berjari enam. Dalam kajian, hal tersebut menjelaskan bahwa sebelum era kolonial masyarakat sudah menyadarai keberadaan difabel di lingkungannya. Namun, dahulu para difabel tersebut sering dikaitkan dengan seseorang yang memiliki kesaktian. Sampai sekarang, tidak sedikit orang yang mempercayai bahwa difabel merupakan seorang sakti.
Pada era kolonial, difabel dianggap sebagai seorang yang tidak produktif sehingga pemerintah mengupayakan untuk ‘menormalkan’ penyandang disabilitas melalui rehabilitasi. Difabel mulai diberi keterampilan yaitu memijat dan menjahit. Sampai sekarang, kedua keterampilan tersebut masih terus digalakkan sebagai suatu keterampilan yang nantinya dapat membantu penghidupan difabel. Di era pascakolonial, banyak korban perang mengakibatkan peningkatan jumlah difabel di Indonesia. Yayasan yang menaungi difabel dikelola oleh orang Indonesia sendiri setelah Belanda pergi dari Indonesia. Namun, seiring berkembangnya waktu fasilitas umum di beberapa daerah di Indonesia masih belum akses bagi difabel.
Slamet Tohari menambahkan dalam artikelnya yang berjudul “The Shift of Disability Conception in Javanese Society: A Case of Yogyakarta” bahwa Difabel di Yogjakarta tidak memiliki kemudahan akses dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Hampir dalam semua aspek para difabel kesulitan untuk mengaksesnya seperti pada pelayanan umum, transportasi, lembaga pendidikan, dan pasar. “ Hal tersebut menyulitkan difabel untuk mendapatkan pekerjaan,” terangnya. Penting untuk mengetahui dinamika sejarah difabel dari satu zaman ke zaman yang lain agar masyarakat memahami keberadaan mereka di tengah kehidupan sosial. Jika dahulu difabel adalah korban perang, untuk zaman seperti saat ini banyak orang menjadi difabel diakibatkan kecelakaan. Tentu keadaan seperti itu bukanlah keinginan setiap orang, diskriminasi yang sering diterima oleh difabel juga bukan harapan mereka.
post ulang :Rixhi Saputra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar